Hujan ya?
Hujan masih mengguyur deras, tak peduli banyak orang yang mengeluh
segala tentangnya. Hembusan angin menerpa kulitku yang sedikit basah. Dingin. Aku
duduk pada kursi halte yang biasa aku singgahi untuk menunggu bus. Lalu
mengamati langit kelabu berharap agar hujan cepat berhenti. Berharap agar aku
tak mengingat kejadian lima tahun silam. Namun percuma, ditempat yang sama dan
suasana yang sama, hujan sepertinya ingin membawaku kembali pada kehadiran
seseorang yang kusayangi yang dulu pernah berada disampingku.
***
“Kenapa sih harus turun hujan hari ini?” keluh
anak 10 tahun yang sedang berada di sampingku.
“Memangnya kenapa?,” tanyaku. “Kamu ga suka?”
“Ya
habisnya kak, hujan membuat semua orang jadi berhenti untuk melakukan kegiatan.
Tuh liat,” Dia menunjuk dengan mengarahkan kepala ke depan. “Mereka sampai rela
menunggu hujan.”
Aku tertawa geli mendengarakan jawaban adikku
yang lucu nan imut itu. Dia cemberut karena ku tertawa, kecewa karena jawaban
yang tak diinginkannya. Aku mengelus rambut hitamnya yang panjang. Menggenggam
tangannya yang mulai kedinginan. Kami duduk berdua di halte, menunggu hujan
berhenti tapi saat itu juga aku tak ingin waktu berhenti sedetik pun. Hujan
masih menghujam tanah, menciptakan wangi yang khas, wangi yang membuatku nyaman
dan tenang terlebih dengan orang yang paling kusayang.
Kami pulang berjalan kaki, saat itu hujan
sudah reda. Kebetulan dari halte tempat yang aku dan Anya singgahi berjarak
dekat dengan rumah kami. Aku dan Anya berbeda 7 tahun, kami kakak adik yang
cukup akur. Meski terkadang aku iri dan sebal dengannya.
"Kalian
kemana saja?" Mamah yang sudah dari tadi di depan rumah, sudah berkacak
pinggang.
"Tadi nunggu
di halte dulu ma, hujan."Anya membuka suara.
"Oh dikirain
mamah mah kemana dulu gitu, mamah khawatir banget soalnya."
Mamah
mengacak acak-acak rambut Anya. Merangkul bahunya untuk masuk kedalam rumah.
Aku yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa tersenyum.
Hari sudah larut. Setelah selesai mengerjakan
PR, aku segera membaringkan tubuhku di atas kasur yang empuk. Mencoba
memejamkan mata tapi tak bisa. Aku menatap dinding kamar berwarna biru laut,
mencoba mengenyahkan segala pikiran yang mulai berkecamuk di otakku.
***
Selamat pagi. Bagiku waktu selalu pagi.
Diantara dua puluh empat jam potongan sehari. Pagi berarti satu malam dengan
mimpi-mimpi menyesakkan telah terlewati lagi; malam-malam panjang, gerakan
tubuh resah, helaan nafas tertahan, dan kerinduan. Pagi, berarti kehidupan baru
telah dimulai, muncul bersama hangatnya mentari dan secangkir kopi yang masih
mengepul.
Cahaya matahari masuk melewati celah-celah
gorden kamarku. Menyoroti bola mataku yang setengah terbuka. Aku terbangun,
bergegas siap pergi ke kantor. Tak lupa menyesap secangkir kopi panas rasa
caramel.
Kereta
cepat berangkat sekitar tiga puluh menit lagi. Sementara dari Apartemenku untuk
menuju Stasiun hanya cukup memerlukan sepuluh menit dengan berjalan kaki.
Kehidupan kotaku kini berkembang pesat selama
lima puluh tahun terakhir. Di abad ke-22 ini, hal yang awalnya tak penah
terbayangkan kini menjadi pemandangan yang sudah biasa. Kereta cepat yang
menggantung di atas jalan raya, mobil terbang, dan masih banyak lagi. Kalian
tahu? Katanya nanti akan ada Mesin Waktu. Entah benar atau tidak, aku pun tak
tahu pasti. Itu pun karena aku sekilas mendengar berita yang disiarkan di TV
tengah malam tadi. Namun yang pasti, aku berharap Mesin Waktu benar-benar ada.
“Keysha!”
Aku
menoleh kearah suara. Seorang laki-laki yang bertubuh tegap kini sedang
berjalan ke arahku. Dia adalah teman
sekantorku, Eddy.
“Hey,” kataku sambil melambaikan tangan.
“Makin hari muka kamu makin kusut aja Ed.” candaku.
“Kemarin lembur lagi, masih kurang tidur. Yaa
jadinya gini nih” kata Eddy sambil mengusap wajahnnya.
Aku terkekeh. Kami pun berjalan berdua menuju
Stasiun. Di perjalanan, kami mengobrol tentang pekerjaan, orang-orang di
kantor, bahkan orang-orang di kereta pun kami jadikan bahan obrolan. Sesampainya
di kantor, aku segera di sibukkan oleh pekerjaan kantor yang setumpuk.
Kebetulan saat itu, kantor kami memang benar-benar sibuk. Sibuk mencari-cari
penyelesaian permasalahan kantor yang sedang memburuk.
Aku pun sebagai Sekretaris tak luput dari
hadapan komputer dan jari-jari yang mulai pegal karena terus mengetik.
“Ya ampun Keysha, ini banyak banget typo-nya. Kamu tuh bisa ngetik ga sih?
Ulangi lagi! Saya gak mau tahu siang ini juga semuanya harus sudah dikirim ke
email semua perusahaan” suara Pak Aryo menggelegar di ruangannya, sampai-sampai
bisa terdengar ke luar ruangannya.
Aku
keluar dari ruangan Pak Aryo dengan wajah merah, pertama karena aku malu, kedua
aku sudah capek, dan ketiga karena aku geram dengan Pak Aryo yang selalu
membentak diriku, karena rasanya dimata Pak Aryo, Keysha adalah kesalahan. Aku
selalu salah.
Aku berjalan menuju mejaku, menatap wallpaper
computer yang tak pernah kuganti. Seorang anak 17 tahun dan 10 tahun yang sedang
berdiri di dekat wanita cantik yang memakai pakaian khas Belanda, mereka memakai
baju dengan warna senada. Anak yang lebih tinggi merangkul seseorang yang hanya
sebahu dengannya. Di bawahnya terdapat tulisan “KEYSHA & ANYA.”
Kini,
sekeping memori terlintas dibenakku. Menikam ulu hatiku yang paling dalam. Lagi.
***
“Kak! Bangun!” Adikku berteriak tepat di
telingaku. Aku terkejut sengah mati.
“Lima menit lagi, please..” balasku dengan
mata yang masih terpejam.
Lima
menit sudah berlalu. Kini, kasurku sedang dijadikan trampolin oleh adikku. Dia
sudah tak sabar untuk menungguku bangun. Benar-benar bangun dari tempat tidur,
bukan hanya bangun dengan mata yang setengah terbuka.
Hari ini, hari Minggu, aku berjanji akan
mengajaknya jalan-jalan ke KOTU alias Kota Tua. Meski zaman sudah berubah, tapi
Kotu masih tetap terawat dengan baik karena semua itu adalah bukti sejarah.
Bukti yang tak boleh terlupakan.
Setelah
aku dan Anya bersiap-siap, kami pun pergi. Tak lupa, Mamah berpesan agar aku
menjaga Anya dengan baik. Aku tersenyum lalu mencium tangan Mamah.
Anya
sangat senang dan begitu antusias ketika ku
ajak jalan-jalan. Karena Ayah dan Mamah begitu sangat sibuk, sampai
kadang tak punya waktu untuk kami meskipun itu hari Minggu.
Setelah sampai di Kotu, kami pun berkeliling
tak lupa foto-foto untuk dijadikan sebagai kenangan. Kami memasuki beberapa museum,
Anya berjingkrak-jingkrak kesenangan, ia berlari kesana kemari tak kenal lelah.
Kira-kira pukul satu siang, aku mengajak Anya untuk makan di kafe sekitar Kotu.
Langit
mulai kelabu, gerimis mulai turun. Aku dan Anya berjalan pulang, namun pegangan
tanganku dan Anya terlepas, dia mulai berlari-lari lagi dibawah gerimis. Raut
wajahnya begitu senang, sebuah perasaan haru menyelimutiku. Aku tak pernah
melihat Anya sesenang itu, sebahagia itu.
“Aku lebih suka gerimis dibandingkan hujan”
Anya berkata ke arahku sambil berjalan mundur.
Aku tersenyum “Oiya?”
Dia
berlari mendahuluiku menuju jalan raya. Sampai-sampai suara memilukan dan mengerikan,
juga pemandangan yang tak pernah ingin kulihat, kini aku melihatnya dengan bola
mataku sendiri. Anya tertabrak oleh mobil yang sedang melaju cepat, ia
terlempar hampir 3 meter. Lututku gemetar, gerimis yang turun bercampur dengan
keringatku, air mataku turun begitu saja. Aku menangis, mendekap Anya di
samping jalan raya, tak peduli kami sudah dikerubung beberapa massa.
Suara detak jantung dari layar yang ada di
samping Anya begitu memilukan telinga. Anya dikatakan koma. Mamah menangis. Mamah
tak mau berbicara denganku. Ayah pulang dan cuti.
Mataku
sembab karena lelah menangis. Orang-orang mulai berdatangan menjenguk,
berpura-pura simpati terhadap keluargaku.
“Mah,” aku mengusap tangannya. Lalu aku
memeluk Mamah. Mamah menangis di bahuku.
Aku
meminta maaf kepada mamah dan ayah meski terbata-bata karena ku menahan tangis
yang tak lama kemudian meledaklah tangisanku menjadi-jadi.
Suara
detak jantung kian lama kian melambat, Mamah berteriak kepada suster terdekat.
Dokter terbaik dengan suster yang cekatan segara masuk ke ruangan Anya. Ayah,
Mamah, dan aku menunggu di ruang tunggu. Berharap-harap cemas. Berdoa agar
keajaiban terjadi.
Dokter keluar. Matanya mencerminkan kesedihan.
Aku sudah bisa menebaknya, jadi jangan beritahu aku. Karena sekarang aku tahu,
Tuhan telah mengambil orang yang aku sayangi.
Suara
detak jantung dari layar yang ada di samping Anya begitu memilukan telinga.
Namun suara detak jantung yang berhenti lebih memilukan telinga.
Tangisan
meledak di ruang tunggu, suara jeritan dari seorang Ibu yang kehilangan
anaknya. Wajah Ayahku yang pasrah, matanya tak mengeluarkan air, namun hatinya
hancur berkeping-keping. Harapannya tenggelam bersamaan dengan derunya ombak.
Aku duduk terdiam. Mematung. Menangis tanpa suara.
Angin membelai rambutku. Membuat bulu kudukku
berdiri. Payung hitam menjagaku dari derasnya hujan. Pemakaman tetap berlangsung
khidmat. Anya benci hujan. Dan aku benci hari ini. Senin, 17 Desember 2110.
Mamah dan Ayah sudah pulang duluan dari
pemakaman. Aku memasuki rumah yang hening dan dingin.
“Ini semua gara-gara kamu!” Mamah berteriak
kalap dan menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Sudah Mah, ini sudah takdir” Ayah berusaha
membawa Mamah pergi menjauh dariku.
“Ini bukan takdir! Coba kalau kamu ga bawa
jalan-jalan Anya. Anya ga bakal mati” Mamah berteriak sambil menangis.
Satu
persatu bulir kristal mengalir di pipiku.
“Pergi
kamu! Aku gak mau ngeliat muka kamu lagi. Kamu bukan anakku!” teriak Mamah.
Mamah
berjalan kearah kamarku, mengemas semua pakaianku, semua bukuku, diiringi
tangisan kecil. Tak ada pembelaan dari Ayah. Ayah sedang sibuk dengan telepon
yang terus masuk.
Dan
aku tak tahu harus tinggal dimana.
Aku melangkahkan kaki, keluar dari rumah penuh
kenangan. Tawa yang pernah menggelegar tanpa henti di ruang keluarga. Keributan
kecil yang pernah terjadi di ruang makan, kehangatan secangkir kopi dan teh.
Setiap ruang punya cerita. Rasanya beraneka ragam. Meski begitu, rumah adalah
salah satu tujuanku untuk pulang.
Aku
menghubungi saudara jauh yang kebetulan tinggal satu daerah denganku, dan
berkompromi agar saudaraku tak bilang-bilang kepada Mamah, bahwa aku tinggal
satu rumah dengannya.
***
“Akhirnya selesai juga” aku meregangkan
tanganku kedepan dan tersenyum puas bahwa kerjaanku selesai tepat waktu.
Jam
makan siang sudah berlalu satu jam. Pak Aryo memberiku jam tambahan makan siang
karena selesai mengerjakan kerjaan tepat waktu.
“Udah selesai?” tanya Eddy yang melihatku
sedang makan di dapur kantor. Aku menggangguk.
“Mau?”tanyaku menawarkan.
Eddy
menggeleng dan tersenyum samar, lalu beranjak pergi dari dapur.
Langit berubah menjadi oranye kemerahan.
Matahari terbenam diantara gedung-gedung tingi pencakar langit kota Jakarta.
Meski pada Apartemen lantai dua tidak akan kelihatan betapa indahnya langit
kota Jakarta. Aku menatap layar monitor laptopku sambil meminum susu kotak.
Membaca setiap kata perkata dengan teliti. “Perusahaan
Pembuat Mesin Mobil Terbang: Mesin Waktu Akan Menjadi Kenyataan”. Begitulah
judul artikel yang tadiku baca.
Aku
men-save URL website tersebut dan membagikannya kepada Eddy, temanku yang bisa
dibilang juga sahabat dari saat aku masuk kantorku pertama kali.
Aku sangat senang membaca artikel tersebut.
Mengapa? Karena aku ingin mengubah kehidupanku lima tahun silam yang kelam. Lima
tahun yang penuh luka. Dan mimpi buruk yang terus menggangguku setiap
tidur. Rasa bersalah pada diri sendiri yang amat mendalam.
Setiap
malam pada saat itu, adalah rasa nyeri yang tak pernah kurasakan sebelumnya;
hampa, sesak, retak, pilu, rapuh.
“Selamat pagi,” sapaku di jalan sambil
tersenyum ceria “Pagi ini begitu indah bukan? Langit berwarna biru, awan putih
berserakan menghias cakrawala. Mentari bersinar cerah.”
“Pagi,” balas Eddy. “Semangat banget hari
ini.”
Aku tersenyum samar.
“Eh, udah baca artikel yang aku kirim tadi
malam belum?”
“Yang mana?” dia bertanya kebingungan sambil
melihat handphonenya. “Yang ini?” tanya Eddy sambil melihatkan layar hp nya ke
mukaku.
Aku mengangguk. “Baca geh.”
“Nanti ajadeh,” dia terkekeh “Males.”
Di kantor, semua orang sudah sibuk dan ribut.
Atmosfernya meriah banget. Namun semuanya mendadak hening ketika Pak Aryo
datang. Sama dengan sehening rumahku yang dulu saat ini. Aku sedang meminum kopi, dari alat pembuat
kopi instant, namun seseorang mengagetkanku dan membuat aku tersedak.
Dia
tertawa geli. Dia duduk di hadapanku lalu mengeluarkan ponselnya.
“Kau tahu? Ini semacam lelucon.” Eddy membuka
suara.
“Keysha
sadarlah.. kalau mesin waktu ada lalu bagaimana kehidupan sekarang? Atau kita
juga ikut mundur ke masa lalu atau masa depan?” Eddy tertawa.
“Maksudku,
waktu tak akan pernah bisa berputar.”
Aku hanya mendengarkan, namun aku tak peduli
meskipun ia benar.
“Bulan depan mereka selesai mengerjakannya,
aku akan pergi ke sana.” kataku dengan sarkastik.
“Kau
mau ikut?” tanyaku.
“Tidak.” Dia pergi meninggalkanku dengan muka
kesal.
Aku menanti bulan depan dengan tak sabaran.
Terkadang aku merasa waktu benar-benar cepat berlalu, terkadang waktu berjalan
dengan lambat layaknya siput. Kebetulan sekali awal bulan saat itu hari
libur. Aku mengajak, lebih tepatnya memaksa Eddy untuk ikut mengantarkanku
pergi ke tempat Perusahaan Pembuat Mesin Mobil Terbang. Akhirnya setelah di
paksa beberapa kali, Eddy pun ikut.
Mobil mini warna kelabu itu pun meluncur ke
jalanan. Jalanan di Jakarta kini sudah tak macet lagi, setelah adanya mobil
terbang, meskipun harga mobil terbang lebih mahal daripada mobil mini yang
hanya muat untuk empat orang. Perjalanan hanya memakan waktu 20 menit. Perusahaan itu tak semegah perusahaan yang
lainnya. Satpam robot bertanya melalui
speaker. Akhirnya setelah dibohongi oleh Eddy, satpam robot pun membuka
gerbangnya.
Tidak
ada orang satupun di perusahaan tersebut. Namun setelah berkeliling ada satu
orang namun ia sepertinya sudah tua. Sepertinya dia yang menciptakan dan
menjaga mesin waktu. Tampilannya layaknya professor namun rasanya ia sudah
terlalu renta.
Professor
tua itu sangat kaget dengan kedatangan kami berdua.
“Siapa kalian?” Tanya Professor tua dengan
marah. “Kenapa kalian bisa ada disini?”
“Kami… kami,” Aku menjawab dengan
terbata-bata.
“Kami hanya orang biasa, Pak. Kami ingin
bertemu dengan pembuat Mesin Waktu” Eddy membuka suara.
“Mau apa kalian, huh? Kalian ingin mencuri
mesin waktuku?” Professor tersebut sepertinya masih marah.
“Bukan Pak, jadi ceritanya gini, teman saya
ingin jadi orang pertama yang memakai mesin waktu” Eddy menoleh kepadaku,
matanya seperti berkata “Cepat bilang apa
yang kamu mau.”
Aku terbujur kaku, memerhatikan mimik dari si
Professor tua.
Tanganku
berubah menjadi dingin, degup jantungku tak karuan, lututku gemetar. Rasanya
sama sekali ketika lima tahun silam. Entah apa yang ada dipikiranku saat ini.
“Saya ingin berangkat ke masa lima tahun
silam, saya ingin memperbaiki kesalahan
saya, saya ingin menolong Anya.” Air mataku turun begitu saja. Aku
menyekanya dengan kasar.
Si
Professor tua memasang raut muka bingung.
“Oh,” Professor tua membuka suara, tampaknya
dia baru mengerti apa perkataanku.
“Yasudah,
aku bisa menjadikanmu sebagai kelinci percobaan. Mm... maksudku kau akan jadi
pencoba pertama Mesin waktu ku dan aku ingin nanti kau menceritakan hasilnya.”
Aku tersenyum gembira sambil
berjingkrak-jingkrak memegang bahu Eddy.
“Kau bisa datang kesini lusa,” Si Professor
tua kembali menatap display penelitiannya. “Mesin waktu ini belum secukupnya
selesai.”
Aku dan Eddy pun meninggalkan perusahaan itu
dan aku kembali ke apartemenku dengan hati yang berbunga-bunga.
***
Gerimis mengiringi langkahku kembali ke
pemakaman. Kemeja yang kupakai basah tercampur oleh keringat dan gerimis.
Rambut yang tadi pagi kuikat rapi kini sudah mulai acak-acakan tertiup angin.
Aku berlutut memegang batu nisan yang dingin. Sudah satu tahun berlalu. Hari
ini adalah hari yang paling kubenci.
Dulu, saat dia masih ada, aku sering bercerita
tentang masalahku kepadanya. Menurutku, dia sangat bijak meski usianya masih
belum dewasa.
“Hai, de,” aku mulai bercerita. “Hari ini...”
Aku
menangis, nafasku tidak teratur, naik-turun begitu cepat. Gerimis berubah
menjadi hujan. Namun, tiba-tiba hujan
tak lagi kurasakan mendarat di tubuhku. Aku mendongak keatas, seorang laki-laki
dengan kaos polo warna hitam tengah memegangi payung agar aku tak kehujanan.
Aku
berdiri. Matanya memancarkan kesedihan yang teramat mendalam.
“Hujan.” cowok berbadan tegap itu berkata
dengan suara pelan.
Lalu
ia pergi berbalik. Aku mengejar langkahnya yang belum terlalu jauh. Berjalan di
sampingnya agar tidak kehujanan.
Dia
mengantarku sampai tiba di parkiran.
“Makasih,” aku tersenyum. Rambutku basah
tersiram air hujan yang terus mengguyur.
Cowok itu tersenyum samar.
Anya
benci hujan, namun aku suka hujan.
Setelah aku lulus dari SMK, aku melamar
pekerjaan. Dan akhirnya aku diterima di tempat kerja yang cukup bagus.
“Eh, kamu kan?” aku kaget ketika bertemu
dengan seorang cowok yang tak sengaja kutemui di pemakaman minggu lalu.
“Eddy.” Dia memperkenalkan dirinya sambil
tersenyum.
“Keysha.” Aku membalas dengan senyuman tipis.
***
Hari Selasa. Kebetulan hari itu Pak Aryo,
bosku sedang ada acara di luar negeri. Aku dan Eddy pergi bersama ke Perusahaan
pembuat Mesin waktu pada saat jam makan siang.
“Selamat siang Professor,” ucapku.
“Bagaimana?” nada kalimatku menggantung tapi tak kuselesaikan.
“Sudah bisa dicoba sekarang juga.” Professor
membetulkan letak kacamatanya.
Aku memasuki mesin waktu yang tampak seperti
model kapal selam. Mesin dinyalakan. Tombol warna-warni menyala sambil diiringi suara yang familier
layaknya mesin mobil. Namun tak lama kemudian, kapal yang aku selami lampunya
mati seiring dengan matinya mesin waktu. Aku keluar dari pintu.
Aku masih melihat Professor tua, ia sepertinya
sedang kebingungan keapa tiba-tiba mesin waktunya mati.
“Sepertinya ada kesalahan teknis.” Professor
tua menjawab semua kebingungaku dengan satu kalimat.
Aku keluar dengan wajah cemberut. Eddy sedang
berada di dalam mobilnya. Aku masuk dan
duduk di kursi belakang.
“Gimana? Udah nyelematin hidup kamu yang
dulu?” Eddy bertanya.
“Menurut kamu?” aku balik bertanya.
“Keysha, hidup ini..”
“Simpen omongan kamu, aku gamau denger!” aku
memotong omongan Eddy.
“Kamu ga bisa terus menyalahkan diri kamu
sendiri. Yang dulu biarlah berlalu. Ikhlaskan kepergiannya.”
“Hidup
kamu gak bakal tenang kalau kamu ga bisa mengikhlaskan. Bukan melupakan yang
jadi masalahnya namun mengikhlaskan. Kalau kamu gak mengikhlaskan kamu gak
bakal bisa melupakan.” ucap Eddy dengan bijak.
Aku pun pulang dengan rasa kecewa. Ada sesuatu yang hilang, namun sulit
kukatakan. Ada sesuatu yang pecah berserakan, namun sulit ku rapihkan. Ada luka
yang tak nampak, namun sakit yang kurasa adalah nyata.
Selamat pagi.
Pagi ini hujan mengguyur Ibukota, tak peduli banyak orang yang mengeluh segala
tentangnya. Hembusan angin menerbangkan rambutku dan mengenai wajahku. Aku
duduk di balkon apartemenku. Memikirkan kata-kata Eddy yang dilontarkan
kemarin. Sesekali menyesap kopi yang masih panas.
Dia benar. Waktu tak akan pernah bisa
berputar meski kau berusaha sekuat apapun. Waktu tak bisa kembali meski kau
menangis sampai air mata kau mengering. Hidup ini penuh pelajaran. Pelajaran
mengikhlaskan, melupakan, menerima.
Aku tidak akan
memilih untuk melupakan tapi aku ingin mendekap masa lima tahun itu dengan
erat-erat. Aku harus bisa menerima semuanya, aku tahu ini kesalahan terbesarku,
namun yang lebih aku tahu lagi jika aku tak bisa menerimanya Anya akan sedih di
atas sana. Aku jadi teringat satu kutipan yang pernah kubaca “Bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi
menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan, hidup
bahagia. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa
melupakan.”
Aku belajar dari
semuanya, bagaimana berdamai dengan masa lalu. “Hey Anya, kau tahu aku
menyayangimu, namun kini aku tak bisa menyayangimu sebesar aku merindukanmu”.
-THE END-
Komentar
Posting Komentar